Latest Post

Innalillah, KH Muhammad Idris Jauhari Wafat

Written By Unknown on Kamis, 28 Juni 2012 | 21.37


Kamis, 28 Juni 2012, 16:23 WIB
Innalillah, KH Muhammad Idris Jauhari Wafat
KH Muhammad Idris Jauhari (dokpri ROL)
  

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Innaalillahi wa innaa ilaihi raji'un. Umat Islam Indonesia berduka. Salah satu putra terbaiknya, KH Muhammad Idris Jauhari, pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura, Kamis (28/6) pukul 06.55 wib, meninggal dunia.

''KH Muhammad Idris Jauhari wafat karena sakit,'' ungkap Ustaz Ja'far Shodiq, Humas Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep Madura melalui pesan singkat kepada Republika Kamis (28/6).

Ja'far lalu mengungkapkan pesan-pesan almarhum yang disampaikan menjelang wafat. ''Agar para guru dan santri aktif melaksanakan shalat jamaah lima waktu di masjid dan para guru terus konsen sebagai mujahid tarbiyah,'' ungkap Ustaz Ja'far mengutip pesan almarhum.

Dalam pesannya, almarhum berharap pondok bisa mandiri secara ekonomi, dengan cara mengembangkan potensi ekonomi lewat unit-unit usaha yang ada. ''Kepada putra-putrinya dan kepala sekolah, almarhum berharap dapat melanjutkan studi S2 hingga S3,'' papar Ustadz Ja'far.

Menurut Arpan, salah seorang alumni yang pernah menjadi Kepala Sekretariat Pondok Pesantren Al Amien Prenduan, almarhum adalah konseptor berdirinya Ma'had TMI Tarbiyatul Mu'allimin al Islamiyah (TMI) Al-Amien Prenduan, Sumenep Madura.

''Almarhum adalah konseptor berdirinya Ma'had TMI Amien Prenduan, Sumenep Madura,'' papar Arpan.

Arpan yang pernah menjadi guru selama beberapa tahun di almamaternya lebih lanjut menjelaskan, almarhum kyai Idris Jauhari sangat bangga dengan sistem Mu'allimien, sistem pendidikan khas pesantren ala Gontor dan Al Amien.

''Ribuan alumni TMI Al Amien telah lahir dan berkiprah di masyarakat. Sebut saja, misalnya Ahmadi Thaha mantan wartawan dan penerjemah buku handal, Jamal D Rahman sastrawan, Zuhairi Misrawi dan yang lainnya. Totalitas almarhum dalam membina masyarakat sangat luar biasa,'' ungkap Arpan.

Menurut Ahmadi Thaha yang kini menjabat Sekjen Persatuan Umat Islam (PUI) almarhum tak henti mendorong santri untuk terjun langsung ke tengah masyarakat dengan mengajar dan mendidik mereka. ''Ilmu yang diberikan di pondok, dianggap memadai untuk untuk membimbing umat,'' ucap Ahmadi Thaha.

Dulu, sambung mantan wartawan Tempo ini, ketika memulai pesantren dari nol, almarhum selalu mendidik dengan disiplin dan keras. ''Beliau juga ketat memegang prinsip-prinsip pesantren dan enggan berkompromi terhadap hal-hal yang melanggar ajaran Islam, khususnya akidah Islamiyah,'' jelasnya.

Almarhum yang lahir di Sumenep, 27 Dzulhijjah 1371 H/ 28 November 1952 M meninggalkan seorang istri, Ny. Hj. Zahrotul Wardah, BA, lima anak dan tujuh cucu. Sebelum mendirikan Pondok Pesantren Al Amien Prenduan, almarhum sempat menyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur (1965-1970).

Selama hidupnya, almarhum pernah mengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep selama 18 tahun (1971-1989). Almarhum juga menjadi Direktur Tarbiyatul Muallimin al Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep selama 26 tahun (1971-2005).

Selain aktif mengasuh santri di Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep, almarhum juga dikenal sebagai pendiri Jam’iyatul Qurra’ Wal Huffadz (JQH) TMI pada tahun 2007, menjadi koordinator BASSRA Kabupaten Sumenep sejak 2007 hingga sekarang, serta menjadi Dewan Penasehat Ta’mir Masjid Gemma Prenduan sejak 1971 hingga sekarang. (ROL)

Awal Puasa Berpotensi Beda, Kemenag Minta Warga Menunggu


Kamis, 28 Juni 2012, 14:42 WIB
Awal Puasa Berpotensi Beda, Kemenag Minta Warga  Menunggu
Rukyatul Hilal

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Ada potensi perbedaan awal puasa Ramadhan pada 2012 di Indonesia, Namun, menurut Kepala Sub Direktorat Pembinaan Syariah Kementerian Agama, Drs H Muhyiddin, masyarakat seharusnya menunggu keputusan dari pemerintah.

"Tetapi yang mana pun keputusan yang diikuti, masyarakat harus tetap rukun dan saling menjaga persatuan dan persaudaraan," kata Muhyiddin di Denpasar, Bali, Kamis (28/6). Pernyataan itu dilontarkan Muhyiddin menjawab Republika di sela-sela kegiatan Musyawarah Penyelarasan Ruqyah dan Takwim Islam MABIMS, forum dialog menteri-menteri agama empat negara (Brunei Darussalaam, Indonesia, Malaysia dan Singapura).

Sementara, menyoal keputusan Muhammadiyah menetapkan awal Romadhon pada 20 Juli, Muhyiddin menghargai. Pemerintah, ujarnya, baru akan melakukan sidang itsbat pada 19 Juli.

Seandainya hasil rukyat atau upaya melihat hilal menunjukkan bulan berada diantara 0-2 derajat, maka awal puasa ditetapkan 20 Juli, tetapi jika pada saat itu tidak terlihat hilal, maka awal Romadhon ditetapkan 21 Juli. "Jadi sebaiknya masyarakat menuhggu keputusan sidang itsbat," kata Muhyiddin.
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari (Antara,ROL)

Tujuan Hidup Menurut al-Quran

Alquran telah menerangkan kepada kita  tujuan hidup dan berbagai keinginan manusia dalam kehidupan ini. Pertama, Alquran menjelaskan bahwa sebagian manusia menjadikan makan dan kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Allah SWT berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ (١٢)

   ... dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.(QS. Muhammad: 12)

Kedua, Alquran juga menjelaskan bahwa sebagian manusia menjadikan perhiasan dan kekayaan sementara sebagai tujuan hidupnya. Allah SWT berfirman,

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (١٤)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Āli ‘Imrān: 14).

Ketiga, Alquran juga menjelaskan bahwa sebagian manusia menjadikan hidupnya untuk menyulut fitnah dan menyuburkan kejahatan. Mereka adalah orang-orang yang disebut dalam firman Allah Ta’ālā, Surat al-Baqarah: 204—205,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (٢٠٤)
وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ (٢٠٥) 

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.
(Ungkapan ini adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha menggoncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan kekacauan).
                Itulah beberapa tujuan manusia dalam kehidupan ini. Allah SWT telah membersihkan kaum mukmin dari tujuan-tujuan itu, membebaskan mereka darinya, memberikan tugas yang lebih mulia kepada mereka daripada tujuan-tujuan tersebut, dan menetapkan kewajiban yang lebih luhur di atas pundak mereka. Tugas mulia serta kewajiban luhur yang dimaksud adalah menunjukkan manusia kepada kebenaran, membimbing mereka ke jalan kebaikan, dan menerangi seluruh penjuru dunia dengan matahari Islam. Itulah makna firman Allah Jalla wa ‘Alā,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(٧٧)  وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ (٧٨)

Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu (maksudnya: dalam Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW), dan (begitu pula) dalam (Alquran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.(QS. Al-ajj: 77—78).

Artinya, Alquran menjadikan kita—kaum Muslim—sebagai penanggung jawab umat manusia yang lalai serta memberikan kepada mereka hak kepemimpinan serta kekuasaan atas dunia untuk menunaikan tanggung jawab yang mulia itu. Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa, secara politis, kekuasaan itu sebenarnya adalah hak kaum Mukmin, bukan hak yang lainnya. Kekuasaan itu mestinya dipersembahkan untuk menegakkan peradaban Islam, bukan untuk memperkokoh peradaban materialisme.
Dalam QS an-Nūr, ayat 55, kembali Allah menegaskan hal itu dengan gamblang,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٥٥)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang  telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
       Selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan yang mulia itu, seorang mukmin menjual jiwa dan hartanya kepada Allah, sehingga ia merasa pemilik sejati dari jiwa dan hartanya tersebut bukan lagi dirinya, melainkan Allah SWT. Kedua sarana itu—jiwa dan harta—telah menjadi wakaf untuk keberhasilan tugas-suci kehidupan seorang mukmin dan tersampikannya hidayah Islam kepada hati manusia. Itulah makna firman Allah SWT dalam QS. at-Tawbah: 111,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١١١)4
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka ....
            Oleh karena itu, kita menyaksikan dari generasi terbaik dari umat ini dan generasi terbaik yang datang sesudahnya orang-orang yang mewakafkan apa yang ada padanya, bahkan dunianya, untuk dakwah agar mendapatkan kenikmatan akhirat sebagai balasan atas pengorbanannya.
Pertanyaannya sekarang: di mana posisi kita—kaum muslim hari ini—dari tujuan suci yang digambarkan Allah yang disebutkan tadi? Demi Allah, wahai Saudara-saudaraku yang mulia, apakah kita telah memahami makna itu dari Alquran sehingga jiwa kita menjadi mulia, ruh kita membumbung tinggi, terbebas dari perbudakan materialisme, terbersihkan dari syahwat dan hawa-nafsu, terhindar dari tujuan-tujuan rendah, wajah kita terarahkan dengan lurus kepada Allah, Pencipta langit dan bumi... menegakkan kalimat Allah, menyebarkan agama-Nya, dan membela syariat-Nya? Ataukah kita justeru berada di barisan orang-orang yang menjadi tawanan syahwat serta budak nafsu dan keserakahan, di mana yang mereka pikirkan setiap harinya hanyalah makanan lezat, kendaraan megah, perhiasan mewah, tidur yang menyenangkan, istri cantik, penampilan palsu, dan gelar-gelar kosong? Ibarat ungkapan syair,
                                                                                                       رَضوا بالأمانى وابتلّوا بحظوظهـم                     
        وخاضوا بِحَــارَ الجِــد دعـْـوىً فما ابتـــلّوا
                      
(Mereka puas dengan angan
dan merasa telah mendapatkan untung
Mereka mengaku telah selami laut perjuangan
Tetapi takbasah oleh air).
             
Sungguh benar Rasulullah SAW yang bersabda,
تَعِسَ عبــدُ الدينار، تعس عبــد الدرهــم، تعس عبــد القَطيفـــة.
(Celakalah hamba dinar... Celakalah hamba dirham... Celakalah hamba selimut)    




ISYARAT QURAN TENTANG STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


Pendahuluan
Sejak awal kehadirannya, Islam telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam makna yang luas. Tentu saja bukan suatu kebetulan apabila wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. adalah perintah “membaca” yang—secara tidak langsung—mengandung implikasi pendidikan.
Urgensi pendidikan dijumpai dalam pelbagai ayat melalui aneka ungkapan, baik berbentuk statement, pertanyaan, maupun kisah. Di samping itu, secara spesifik lagi, terdapat 842 kata dalam al-Quran yang terambil dari akar  ع – ل – م.[1] Kesemua itu merupakan indikasi betapa urgen dan luar biasanya perhatian Islam terhadap pendidikan.[2]
Al-Quran melihat pendidikan sebagai sarana yang sangat strategis untuk mengangkat serta meningkatkan harakat manusia dari keterpurukannya, seperti yang dijumpai pada abad jahiliyah.[3] Hal ini dapat dipahami, karena dalam pendidikan, seseorang akan memiliki bekal untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai kesempatan dan peluang yang menjanjikan masa depan, dan tidak mudah diperalat oleh manusia lain.[4]
            Ajaran Islam, sebagaimana terkandung dalam kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.—meminjam ungkapan  Muhaimin—yang “kaya akan fundamental doctrines dan fundamental values dalam berbagai aspek kehidupan manusia”,[5] semenjak dahulu, para ulama pemerhati dan pengembang pendidikan Islam selalu mencurahkan daya-upaya untuk menangkap serta menggalinya dari aspek kependidikan.
            Menurut Muhaimin, salah satu model penggalian serta pengkajian yang dilakukan oleh para ulama terhadap aspek tersebut adalah model perenial-esensialis kontekstual. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah:
 ... upaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Al-Qur`an dan al-Sunnah al-shahihah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik di bidang pendidikan, serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia pendidikan modern.[6]
            Meskipun demikian, pengkajian ayat-ayat al-Quran dari aspek kependidikan—khususnya tentang pengembangan strategi pendidikan Islam—secara tematik, menurut hemat penulis, belumlah banyak dilakukan oleh para penulis tafsir di Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih langkanya karya tulis di bidang tafsir tentang ayat-ayat pendidikan (āyāt al-tarbawiy) jika dibandingkan dengan karya tulis (pustaka) di bidang tafsir ayat-ayat teologi, hukum, sosial, dan sebagainya.
            Berdasarkan pemikiran tersebut, tulisan ini mencoba untuk meng-explore serta “menangkap ide-ide dasar” komponen ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan pengembangan pendidikan Islam.

Teks Ayat (Q.S. al-Ḥasyr:  18; al-‘Alaq: 1—5; dan al-Mu`minūn: 12—14)

1.      Q.S. al-Ḥasyr: 18:

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ 

2.      Q.S. al-‘Alaq: 1—5:

ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
3.      Q.S. al-Mu`minūn: 12—14:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
Terjemah

1.    Q.S. al-Ḥasyr: 18:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2.    Q.S. al-‘Alaq: 1—5:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,
 yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

3.    Q.S. al-Mu’minūn: 12—14:

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.


Tafsir
1. Urgensi Strategi

Q.S. al-Ḥasyr: 18:

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ 
            Jumhur mufassirīn, tampaknya sepakat bahwa ayat di atas menyuruh orang-orang beriman  agar mengevaluasi persiapannya berupa amal-amal saleh untuk mengarungi kehidupan hari esok (akhirat). Al-Ḍahhāk dan Qatādah, misalnya, berkata bahwa "مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ"  bermakna  يوم القيامة .[7]
Menurut al-Asfahāniy, naẓr dalam ayat itu dapat berarti “al-ta`ammul wa al-fakhṣ”, yakni melakukan perenungan atau pengujian/pemerikasaan secara cermat dan mendalam. Kata tersebut juga bisa berarti “taqlīb al-baṣar wa al-baṣīrah li idrāk al-syai` wa ru`yatih”, yakni melakukan perubahan pandangan (perspektif) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu. Termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji serta mengembangkan ide-ide, rencana kerja, atau strategi yang telah dibuat dari berbagai perspektif untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik.
Dinyatakan oleh ayat di atas, perintah melakukan nar, diapit oleh kalimat “ittaqū Allāh”. Demikian pula sesudahnya. Menurut Muhaimin, ini menyiratkan makna sebelum seseorang melakukan naẓr, sebenarnya sudah berusaha melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perubatan-perbuatan negatif. Namun, ia masih disuruh untuk melakaukan naẓr; melakukan penilaian secara cermat dan akurat terhadap proses hasil kerja sebelumnya, atau bahkan melakukan perubahan cara pandang dan kerangka pikir karena tantangan-tantangan yang bakal dihadapinya jauh lebih berbeda daripada priode sebelumnya. Dengan demikian, ia diharapkan dapat melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sisi-sisi yang dianggap kurang baik untuk melangkah ke arah yang lebih baik.[8]
Menurut hemat penulis, ruh dari ayat ini (juga ayat-ayat yang dipaparkan nanti) dapat memaknai pentingnya strategi dalam aktivitas pendidikan. Hal itu dikarenakan pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara untuk meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang. Hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam kelompok masyarakat primitif. Hanya sistem dan metodenya yang berbeda-beda, seusai dengan taraf hidup dan budaya masyarakat masing-masing. Di sinilah strategi pengembangan pendidikan ditemukan urgensinya.
2. Tujuan dan Sasaran Pengembangan Pendidikan

Q.S. al-‘Alaq: 1—5:

ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
  
Iqra` adalah bentuk kata imperatif (fi’l amr) terambil dari kata kerja qara`a yang pada mulanya berarti "menghimpun". Menurut Quraish Shihab, arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra` yang diterjemahkan dengan "bacalah!" tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek baca. Ia tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Oleh karena itu, dalam kamus, dapat ditemukan arti yang beraneka ragam bagi kata ini. Antara lain, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun".[9]
            Dapat dikemukakan suatu kaidah: "Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut". Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra` digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objek bacaan dalam ayat ini tidak disebut sehingga bersifat umum, objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci dari Tuhan maupun yang bukan; baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 'Ala kulli hal, perintah iqra` mencakup menelaah terhadap alam raya, masyarakat, dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
            Bi ism Rabbik adalah suatu ungkapan. Sudah menjadi kebiasan orang Arab sejak dahulu mengaitkan suatu pekerjaan yang mereka lakukan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan. Ini dimaksudkan untuk memberi kesan yang baik—atau katakanlah "berkat"—terhadap pekerjaan tersebut. Juga, untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata demi "dia" yang namanya disebutkan itu.[10]
       Demikianlah, al-Quran secara dini menggarisbawahi pentingnya "membaca" serta keharusan adanya keikhlasan dalam melakukannya, bahkan dalam melakukan setiap aktivitas.
       Kata rabbik  dalam al-Quran disebut sebanyak 242 kali.[11] Kata tersebut dapat diterjemahkan dengan "Tuhanmu". Kata rabb berasal dari akar kata tarbiyyah yang berarti “pendidikan”. Kata-kata yang  bersumber adari akar kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan, serta perbaikan. Kata rabb apabila berdiri sendiri, yang dimaksud adalah "Tuhan" yang tentunya—antara lain—karena Dialah yang melakukan tarbiyyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk yang dididik-Nya.
       Agaknya, penggunaan kata rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri krpada-Nya, dalam arti bahwa perintah tersebut harus dilaksanakan karena yang memerintahkan adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya. Seluruh perbuatan-Nya, seperti memberi rezeki, ganjaran, pengampunan, dan siksaan tidak lepas dari tarbiyyah  tersebut.[12]
            Selain yang dikemukakan di atas, ayat tersebut juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan berupa keyakinan kepada kekuasaan serta kehendak Allah swt. Di samping itu, juga mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu pengetahuan. Allah swt. menyuruh Nabi-Nya saw. untuk membaca tanpa menyebutkan objek bacaannya (baik ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, atau pun pada diri manusia sendiri). Berbagai ayat tersebut jika dibaca—dalam arti ditelaah, diobservasi, diidentifikasi, dikatagorisasi, dibandingkan, dianalisis, serta disimpulkan—dapat menghasilkan ilmu pengetahuan.[13]
            Karena objek ontologis seluruh ilmu adalah ayat-ayat Allah, sesungguhnya ilmu pada hakikatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan untuk-Nya. Dengan demikian, dapat dikatakan, ayat pertama Surah al-‘Alaq terkait dengan objek, sasaran, dan tujuan pendidikan.
            Pada ayat kedua, secara harfiah, kata al-‘alaq—menurut Al-Rāgib al-Aṣfahāniy—berarti darah yang beku (al-damm al-jāmid).[14] Sedangkan, menurut Al-Marāgiy, ayat tersebut menjelaskan bahwa Dialah yang menjadikan manusia dari segumpal darah menjadi makhluk yang paling mulia dan memberiannya potensi (al-qudrah) untuk berasimilasi dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang selanjutnya bergerak dengan kekuasaan-Nya, sehingga ia menjadi makhluk yang sempurna dan dapat menguasai bumi dengan segala isinya.[15]
            Dengan demikian, ayat ini menginformasikan mengenai urgensi memahami asal-usul dan proses kejadian manusia beserta segenap potensi yang ada di dalam dirinya. Pembahasan tentang masalah ini akan disampaikan kemudian, yakni ketika menafsirkan Q.S. al-Mu`minūn: 12—14.
            Perintah membaca ditemukan lagi dalam ayat selanjutnya: y7š/uur ù&tø%$# ãPtø.F{$#. Perintah membaca dalam ayat ini—seperti yang disaksikan—dirangkaikan dengan wa Rabbuk al-akram, yang maknanya—antara lain—menurut Quraish Shihab, “merupakan dorongan untuk meningkatkan minat baca”.[16]  
            Menurut Quraish Shihab, kata al-akram hanya dua kali ditemukan dalam al-Quran, yaitu pada ayat ketiga surah al-‘Alaq dan pada ayat ketiga belas surah al-Ḥujurāt. Kata akram biasanya diterjemahkan dengan “Maha Pamurah” atau “semulia-mulia”. Apabila kembali ke akar kata ini, karama, akan ditemukan arti secara etimologis, antara lain memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, mulia, setia, dan kebangsawanan. Dari arti-arti tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata akram digunakan oleh al-Quran untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subyek yang disifatinya. Maka, wa Rabbuk al-akram mengandung pengertian bahwa Tuhan dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hamba-Nya yang membaca.[17]  
            Menurut al-Maragiy, pengulangan iqra` pada ayat tersebut didasarkan pada alasan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa kecuali dengan pengulangan serta pembiasaan. Perintah Tuhan untuk mengulang-ulang kegiatan membaca, juga berarti mengulangi objek bacaan. Dengan cara seperti itu, bacaan akan menjadi orang yang membacanya.[18] Dengan demikian, ayat ketiga ini erat hubungannya dengan metode pendidikan dan urgensi pengembangannya.
            Pada ayat keempat dan kelima surah al-‘Alaq—dan munasabah-nya dengan ayat sebelumnya—Allah swt. mengemukakan salah satu bentuk kemahapemurahan-Nya (akram). Sifat akram yang dimaksud adalah Dia “mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam” dan “mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahui”.
            Sehubungan dengan qalam dalam ayat tersebut, al-Maragiy menjelaskan bahwa Dialah (Allah) yang menjadikan qalam sebagai media yang digunakan manusia untuk memahami sesuatu, sebagaimana mereka memahaminya melalui ucapan.[19] Sementara itu, Quraish Shihab memandang kata qalam dalam ayat ini memiliki dua konotasi, yakni sebagai “alat” dan juga bisa sebagai “hasil” dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Dalam Tafsīr Al-Qur`ān al-Karīm, ia menulis:
     ... berdasarkan satu kaidah yang maksudnya adalah ‘satu kata atau ayat yang singkat sangat boleh jadi ditemukan penjabaran serta perincian artinya dalam ayat yang lain’, maka kalau kaidah ini diterapkan pada ayat yang ditafsirkan ini, kata qalam yang disebutkan pada awal surah Al-Qalam memberi penjelasan tentang maksud kata ini.....................................................
Dengan demikian, dalam ayat keempat surah Al-‘Alaq ini, Allah SWT menegaskan bahwa Dia mengajar manusia melalui pena, dalam arti yang ditulis oleh pena tersebut.[20]
Menurut Abuddin Nata, kata qalam dalam ayat di atas dapat menampung seluruh pengertian yang berkaitan dengan segala sesuatu sebagai alat penyimpan, perekam, dan sebagainya. Maka, dalam kaitan ini, qalam dapat mencakup alat pemotret, berupa kamera; alat perekam, berupa tape recorder; alat penyimpan data, berupa komputer, mikro film, video compact disc (VCD).[21]
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara kontekstual, ayat yang ditafsirkan ini mengisyaratkan pentingnya pengembangan teknologi pendidikan.  
Q.S. al-Mu`minūn: 12—14:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ    
Ayat-ayat di atas menyimpulkan proses kejadian manusia dari fisik dalam lima tahap. Kelima tahap tersebut adalah (1) nuṭfah (pertemuan spermatozoa dan ovum), (2) ‘alaqah, (3) muḍgah (segumpal daging) dalam arti pembentukan organ-organ penting, (4) ‘iẓām (tulang), dan (5) laḥm (daging).
Ketika menafsirkan ayat-ayat di atas, Syekh Ṭanṭāwiy Jauhariy menyatakan bahwa Allah menjadikan nuṭfah segumpal darah beku, kemudian mengubahnya lagi sebagai sepotong daging yang dalam ukuran dapat dikunyah. Substansi tersebut termasuk untuk pembentukan tulang yang kemudian berubah menjadi laḥm (tulang yang sudah terbentuk dan terbungkus oleh otot-otot). Setelah mencapai keadaan itu, janin pun berkembang sebagaimana lazimnya sehingga ditiupkan ruh kepadanya yang menjadikan ia seorang bayi yang hidup.[22]           Penafsiran yang senada dengan itu juga dikemukakan oleh al-Marāgiy.[23]
Dalam kitab Fī Ẓilāl al-Qur`ān, Sayid Quṭb menginterpretasikan khalqan ākhar sebagai manusia yang sudah mempunyai kekhasan martabat yang berbeda dengan martabat hewan. Menurutnya, meskipun dalam perkembangan fisiknya janin manusia sama dengan janin hewan, namun secara metafisika, janin manusia dialihkan prosesnya menjadi “makhluk lain” menuju kepada kesempurnaannya dengan perantaraan “kekhasan yang membedakan” itu sebagai karunia Allah baginya, yang tidak dianugerahkan kepada janin hewan.[24]
Perpaduan antara unsur pisik-jasmaniah dan psikis-ruhaniah yang selanjutnya membentuk manusia. Dari sini, manusia kemudian dianugerahi potensi jasmaniah: pancaindera, berupa penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan; dan potensi ruhaniah, berupa kecenderungan dan naluri.
Dengan demikian, dapat dirumuskan tujuan pendidikan dengan ungkapan bahwa pendidikan merupakan upaya membina jasmani dan ruhani manusia dengan segenap potensi yang ada pada keduanya secara berimbang, sehingga dapat dilahirkan manusia yang seutuhnya. Dari sini pula dapat dirumuskan materi pendidikan dengan ungkapan bahwa materi pendidikan harus berisi bahan-bahan pelajaran yang dapat menumbuhkan, mengarahkan, membina, dan mengem-bangkan potensi-potensi jasmaniah dan ruhaniah secara seimbang.
Analisis dan Komentar
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi peserta didik yang memiliki fitrah, ruh, dan jasmani, kemauan yang bebas, serta akal.[25] Pembentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk memenuhi tujuan utama tersebut, pengembangan sumber daya manusia adalah suatu keniscayaan.
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi untuk menggapainya. Hal itu dikarenakan strategi merupakan alternatif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal.[26]
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat digali.[27]
Secara umum, pendidikan Islam—sebagai bagian dari pendidikan nasional—sedang menghadapi dua tantangan berat, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Menurut Muhaimin, secara internal, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada hasil-hasil studi internasional yang selalu menempatkannya pada posisi juru kunci untuk pendidikan dan rank atas untuk korupsi.  Di sisi lain, pendidikan Islam juga dihadapkan dengan tantangan eksternal, berupa tantangan yang cepat dari lingkungan strategis dari luar Indonesia.[28] Maka, untuk menghadapi kedua tantangan tersebut, perubahan dan inovasi merupakan kata kunci yang perlu dijadikan titik tolak dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia.
            Mengacu kepada isyarat ayat-ayat yang dipaparkan di atas, pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa pendidikan—sebagai proses interaksi sosial yang melibatkan pengaruh pendidik (murabbiy) terhadap peserta didik (mutarabbiy) dalam rangka perubahan perilaku yang diinginkan—sesungguhnya dapat dianggap sebagai inti dari misi dakwah Islamiyah. Q.S. al-‘Alaq: 1—5 serta al-Mu`minūn: 12—14 di atas menyiratkan bahwa Islam datang dalam kehidupan manusia di dunia sebagai ajaran tentang hakikat, asal, tujuan, jalan, cara, dan pedoman-pedoman lain mengenai kehidupan. Pendidikan dapat dianggap sebagai manifestasi dakwah dengan cara-cara yang lebih khusus, terorganisasi, sistematis, dan teratur.
            Keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh, antara lain, proses pendidikan strategi pengembangannya. Untuk hal itu, menurut A.M. Saefuddin, ada empat pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya dengan tuntas agar tujuan pendidikan manusia tercapai secara utuh. Keempat pertanyaan itu adalah causa eficiens atau ‘bagaimana’. Causa formalis atau ‘menurut rencana apa’, causa materialis  atau ‘dengan apa’, dan causa finalis atau untuk apa mendidik? Jawaban atas keempat causa itulah yang harus ditransfer dalam proses pendidikan serta perumusan strategi pengembangannya.[29]
Awal surah al-‘Alaq yang dipaparkan di atas memberikan jawaban terhadap keempat “causa” tersebut. Causa materialis-nya adalah ilmu pengetahuan. Walaupun ilmu meliputi berbagai disiplin atau cabang ilmu, tetapi tetap merupakan kesatuan yang fokusnya sama: menjadikan manusia cinta dan bertakwa kepada Allah swt. Ilmu dalam pengertian ini adalah ilmu Allah yang sama sekali tidak membedakan/memisahkan antara ilmu agama dan ilmu “umum”. Dari sumber pokok ini (ilmu Allah), mengalir berbagai disiplin ilmu melalui saluran-salurannya. Tiga sumber pokok yang menjadi landasan perumusan atau formula ilmu adalah (1) al-Quran, (2) sunah Rasul saw., dan (3) alam semesta. Dari ketiga sumber itulah diturunkan berbagai disiplin ilmu yang lalu menyebar menjadi al-dīn, sains, dan teknologi.
Pengembangan pendidikan dari segi isi (content) dapat didekati secara parsial dan integral. Secara parsial, artinya pendidikan bersifat terbuka, menumbuhkan qalb dan aql. Sedangkan, secara integral, pendidikan berada dalam sistem tertutup, yakni menumbuhkan dan melestarikan nilai-nilai mulia dan akhlak terpuji.
Sehubungan dengan Q.S. al-Mu`minūn: 12—14, dapat dikemukakan bahwa para ahli pendidikan Islam umumnya sependapat bahwa teori dan praktik kependidikan harus didasarkan  pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan di seputar persoalan ini merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan akan konsep ini, pendidikan akan meraba-raba.
Dari isyarat ayat-ayat tersebut, dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, ada dua implikasi penting yang menjadi acuan dasar dalam strategi pengembangan pendidikan. Pertama, karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa pengembangan strategi pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan  (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan pendidikan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia yang cerdas secara intelektual dan terpuji secara moral. Apabila kedua komponen itu dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi sempurna (al-insān al-kāmil).
Kedua, Allah swt. membekali manusia dengan seperangkat potensi. Maka, pengembangan pendidikan Islam harus diarahkan kepada potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkret. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa posisi manusia sebagai ‘abd dan khalīfah menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Pertama, Q.S. al-Ḥasyr: 12—14 mengimplisitkan perintah untuk melakukan perenungan atau pengujian/pemeriksaan secara cermat dan mendalam, serta melakukan perubahan pandangan (perspektif) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu. Termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji serta mengembangkan ide-ide, rencana kerja, atau strategi yang telah dibuat dari berbagai perspektif untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik. Apabila hal ini dibawa ke ranah pendidikan, niscaya akan dapat dikatakan bahwa pendidikan yang mewarnai seluruh proses hidup dan kehidupan manusia (education is life), yang mendapatkan tantangan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia sendiri, medapat ‘dukungan’ dari ayat-ayat tersebut untuk dirumuskan strategi pengembangannya secara dinamis.
Kedua, ide tersebut dikuatkan oleh rangkaian ayat dalam Q.S. al-‘Alaq: 1—5. Di sana, di samping ditemukan perintah membaca, meneliti alam raya ini demi mencapai ilmu pengetahuan, baik menyangkut diri manusia, lingkungan masyarakat, maupun benda-benda alam, juga tersirat keterkaitan wahyu pertama itu dengan subyek, obyek, metode, kurikulum dan materi, serta sasaran dan tujuan pendidikan yang memerlukan strategi pengembangan.
Ketiga, pemahaman yang komprehensif tentang manusia—yang deskripsikan oleh Q.S. al-Mu`minūn: 12—14—disepakati oleh para ahli pendidikan sebagai hal yang amat penting untuk merumuskan berbagai strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, materi pendidikan, dan metode pendidikan. (Agustan Ahmad)



[1]Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān al-Karīm (Indonesia: Maktabah Daḥlān, t.th.), lema ع - ل- م, h. 596—611. 
[2]Lihat, Arifuddin Arif, Pangantar Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I, Jakarta: Kultura, 2008), h.1.
[3]Dalam catatan sejarah, abad jahiliyah ditandai dengan adanya perbudakan manusia atas manusia, penyelewengan akidah, pelanggaran moral, dan kehancuran dalam bidang ilmu pengetahuan. Penyebab utamanya adalah pengabaian manusia akan urgensi pembinaan sumber daya manusia secara merata melalui pendidikan, pengajaran, penelitian, dan sebagianya.
[4]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsīr al-Āyāt al-Tarbawiy) (Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 36.
[5]Muhaimin (et.al.), Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pandidikan Agama Islam di Sekolah, (Cet. IV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. v.
[6]Ibid.
[7]Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kaṡīr Abū Ja’far (al-Ṭabariy), Jāmi’ al-Bayān fī Ta`wīl al-Qur`ān (Cet. I; t.t.: Mu`assasah al-Risālah, 2000), h. 548. Lihat pula, Syihāb al-Dīn Maḥmūd ibn ‘Abd Allāh al-Ḥusainiy al-Alūsiy, Rūḥ al-Ma’āniy fi Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm wa al-Sab’ al-Maṡāniy (t.t.: Maktabah al-Syāmilah, t.th.), h. 439.
[8]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2009), h. 3.
[9]Di dalam al-Quran, kata qara`a disebutkan sebanyak tiga kali, masing-masing pada surah ke-17, ayat 14 dan surah ke-96, ayat 1 dan 3. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur`ān Al-Karīm (Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu)(Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h.77—78.  
[10]Tentang huruf ba` dalam ayat di atas, terdapat beberapa pendapat. Di anataranya, (1) huruf ba` yang dibaca bi tersebut adalah sisipan yang tidak menambah makna tertentu, tetapi hanya sekadar memberikan tekanan pada perintah tersebut. Pendapat ini menjadikan kata ismi  sebagai objek dari perintah iqra`. (2) huruf ba` tersebut mengandung arti "penyertaan" (mulabasah) sehingga ayat tersebut berarti "Bacalah disertai dengan nama Tuhanmu!”). Kedua pendapat di atas serta pendapat-pendapat lain yg tidak sempat dikemukakan di sini, menitikberatkan makna harfiah kata-kata dalam pemahaman arti ayat. Namun, yang perlu diingat, ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang berupa ungkapan sehingga tidak dapat dipahami secara harfiah. Maka, yang harus diperhatikan bukan arti harfiahnya, melainkan arti dan maksud pengungkapan tsb. menurut pemakai bahasa (bangsa Arab). Ibid.
[11]Muḥammad Fu`ād ‘Abd al-Bāqiy, op.cit., h. 365.
[12]Muhammad Quraish Shihab, op.cit., h. 82.
[13]A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (Cet. I; Bandung: Mizan, 1988), h. 34.
[14]Al-Rāgib al-Aṣfahāniy, Mu’jam Mufrad Alfāẓ al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 414.
[15]Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgiy, Tafsīr al-Marāgiy, Jilid X (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 198.
[16]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXIII; Bandung: Mizan, 2003), h. 169.
[17]Kata lain yang serumpun dengan kata akram adalah karīm yang terilang sebanyak 27 kali dalam al-Quran. Kata ini menyifati 13 hal yang berbeda-beda, seperti qaul (ucapan), rizq (rezeki), zauj (pasangan), malak (malaikat), ẓill (naungan), dan kitāb (surat). Sudah tentu pnegertian yang dikandung oleh sifat karīm dalam ayat yang berbeda-beda di atas harus disesuaikan  dengan subyek yang disifatinya. Lihat, ibid.
[18]Al-Maragiy, op.cit., h. 199.
[19]Ibid.
[20]Muhammad Quraish Shihab, “Tafsir”, op.cit., h. 98—99.
[21]Abuddin Nata, op.cit., h. 49.
[22]Ṭanṭāwiy Jauhariy, al-Jawāhir fī Tafsī r al-Qur`an al-Karīm, Juz XI (Cet. II; Mesir: Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabiy wa Aulāduh, 1350), h. 97.
[23]Al-Marāgiy, op.cit., Juz XVI, h. 9.
[24]Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur`an, Juz XVIII (Cet. VII; Beirut: t.p., 1971), h. 17.
[25]Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Maarif,1995), h. 67.
[26]Ahmad S. Adnanputra, Strategi Pengembangan SDM Menurut Konsep Islam, dalam Majalah Triwulan Mimbar Ilmiah, Universitas Islam Djakarta, Tahun IV No. 13, Januari 1994,     h. 7.
[27]Ibid., h. 8.
[28]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), h. 71—72.
[29]A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi  (Cet. I; Bandung: Mizan, 1987), h. 127. 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. IKADI PALU - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger